Jl. Tebet Barat Dalam Raya No.12, Jakarta 12810 info@geibtechforlearning.org +6221 2854 2020

Apa Pendapat Orang Indonesia Mengenai Minyak Kelapa Sawit?

Hal ini menakut-nakuti hutan namun membangun mata pencaharian — pandangan orang-orang di pemerintahan, bisnis dan masyarakat sipil mengenai minyak kelapa sawit terpolarisasi di negara penghasil terbesar di dunia.

Pertanian dan buatan minyak sawit telah menyusun tulang punggung tidak sedikit komunitas di Indonesia, produsen minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Minyak kelapa sawit menyumbang 11 persen dari penghasilan ekspor ekonomi terbesar di Asia Tenggara.

Tetapi komoditas tersebut telah mendapat sorotan dari konsumen, aktivis, media internasional, dan perusahaan barang konsumen yang membelinya. Pemerhati lingkungan dan media sudah berfokus pada hilangnya keanekaragaman hayati dan evolusi iklim yang diakibatkan oleh pendahuluan dan pembakaran hutan Indonesia untuk membuka jalan terhadap perkebunan kelapa sawit.

Tapi apa yang dialami orang Indonesia sendiri mengenai industri yang kontroversial ini?

Syahrul Fitra merupakan seorang peneliti di organisasi non-pemerintah Auriga Nusantara, yang berfokus pada konservasi sumber daya alam. Ia percaya bahwa orang Indonesia, khususnya yang berada di wilayah pedesaan, mengetahui bahwa kelapa sawit adalah komoditas ekonomi dan sumber mata pencaharian untuk banyak orang.

Banyak anak muda Indonesia mulai cemas tentang eksistensi perkebunan kelapa sawit. Mereka sudah melek terhadap lingkungan dan mulai berkata menentang perkebunan kelapa sawit yang tidak melestarikan lingkungan.

“Orang Indonesia menyaksikan minyak sawit sebagai sumber keperluan dasar. Mereka mengidentifikasi kelapa sawit dengan minyak goreng, sebab 90 persen pangsa pasar minyak goreng di Indonesia berasal dari minyak sawit, ”katanya untuk Eco-Business.

Fitra telah menyimak perubahan dalam pemahaman ini, khususnya di kalangan anak muda Indonesia. “Banyak anak muda Indonesia mulai cemas tentang eksistensi perkebunan kelapa sawit. Mereka menjadi melek terhadap lingkungan dan telah mulai berkata menentang perkebunan kelapa sawit yang tidak melestarikan lingkungan, ”katanya.

Caroline Yuiliany yang merupakan seorang pemuda Indonesia yang bekerja sebagai administrator di ibukota, Jakarta. Dia percaya industri mempunyai aspek positif dan negatif. “Secara lingkungan, minyak kelapa sawit paling negatif sebab merusak hutan dan tumbuhan dan fauna. Tetapi untuk perekonomian ini paling positif, sebab minyak kelapa sawit adalah salah satu kontributor terbesar terhadap PDB Indonesia. ”

Karena luasnya kepulauan Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau, setiap dengan tradisi dan logat lokalnya sendiri, pandangan industri minyak sawit bergantung pada lokasi tinggal seseorang. Berdasarkan keterangan dari William Pasang, eksekutif operasi untuk Sinar Mas Agro Resources & Technology, orang-orang di wilayah pedesaan yang bermukim dekat dengan perkebunan atau pabrik bisa menawarkan pandangan mereka menurut empiris langsung, tetapi suara mereka sering tidak terdengar.

“Hanya segelintir orang di dalam industri yang benar-benar mempunyai paparan informasi yang lumayan yang mengungkapkan apa yang sebetulnya terjadi di lapangan,” kata Pasang. “Namun, informasi ini jarang diberikan pada kecepatan yang lumayan cepat untuk mengimbangi sistem berbagi informasi yang kompleks ketika ini. Ini lebih pada perlombaan untuk industri menunjukkan wacana pada jalur positif atau negatif, dan sampai saat ini kelihatannya yang terakhir sudah menang. ”

Minyak kelapa sawit sebagai rekan ekonomi
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 8,4 juta orang dipekerjakan di industri minyak sawit di Indonesia, dari petani dan pekerja pabrik sampai pemasok barang layanan. Angka tersebut kemungkinan akan meningkat, dengan industri yang diproyeksikan akan meningkat sebesar 3 persen sekitar 10 tahun ke depan.

Bambang selaku direktur jenderal perkebunan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dia berbagi bagaimana, dikomparasikan dengan petani jenis lain, petani kelapa sawit di Indonesia menerima gaji yang lebih tinggi, dan mempunyai pertumbuhan upah yang lebih tinggi daripada rata-rata.

“Pendapatan petani kelapa sawit bertambah dari Rp14 juta / hektar / tahun (US $ 966) pada 2009 menjadi Rp31 juta / hektar / tahun (US $ 2.140) pada 2013, sedangkan mereka yang memproduksi beras dan karet selalu meningkat dari Rp6,6 juta / hektar / tahun menjadi Rp 7,2 juta dikomparasikan periode yang sama, ”katanya.

Namun, menurut keterangan dari Fitra, masih banyak petani kelapa sawit yang hidup dalam kemiskinan, khususnya petani yang memiliki tidak dari dua hektar lahan. “Kesenjangan dalam kepemilikan lahan antara perusahaan dan pekebun di sektor ini paling tinggi,” katanya.

Fitra percaya bahwa banyak pekerja kelapa sawit Indonesia dieksploitasi. “Upah yang didapat tidak terlukis dari tingginya risiko kerja, dan tidak sedikit yang tidak menerima asuransi kesehatan, asuransi kerja, atau pensiun. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan kita adalah mempekerjakan wanita dan anak-anak dalam pekerjaan ini. ”

“Jika dikelola dengan benar cocok dengan standar keberlanjutan, kami mendukung eksistensi perkebunan kelapa sawit sebagai penyelesaian untuk meminimalisir kemiskinan di Indonesia,” kata Fitra. “Tapi faktanya mereka seringkali meminimalisir kemiskinan.”

Apakah minyak sawit memberi berpulang pada orang Indonesia?
Rubin Suardi dari kepala pemasaran di Sampoerna Schools System, dia percaya bahwa kelapa sawit adalah komoditas yang tidak bisa hidup tanpa orang Indonesia.

“Minyak kelapa sawit adalah industri urgen yang menyerahkan pertumbuhan untuk perekonomian Indonesia,” katanya untuk Eco-Business. “Banyak bisnis dan orang berkembang berkat perkembangan industri ini.”

Meskipun Suardi sangat menyokong industri ini, ia sadar akan aspek-aspek negatif dan hendak melihat teknologi diimplementasikan untuk menolong mengelola keberlanjutan. “Praktisi industri akan mengerjakan tindakan untuk mencairkan lingkungan yang sudah dihancurkan. Dengan dana besar yang dipunyai perusahaan-perusahaan besar, pastinya ada teknologi yang bisa diterapkan guna mengelola perkembangan industri kelapa sawit secara bertanggung jawab, ”katanya.

Minyak kelapa sawit adalah industri urgen yang menyerahkan pertumbuhan untuk perekonomian Indonesia. Banyak bisnis dan orang berkembang berkat perkembangan industri ini.

Sekumpulan orang yang jarang mendapatka untung dari perniagaan minyak kelapa sawit adalah masyarakat adat Indonesia. Lebih dari 700 konflik tanah berhubungan dengan industri kelapa sawit. Konflik skala besar dengan kumpulan masyarakat adat sudah terjadi di Riau, Jambi, Kalimantan dan Papua.

Patrick Anderson selaku penasehat kepandaian untuk Forest Peoples Programme di Indonesia, berkata “suatu LSM yang menolong masyarakat adat yang telah dialihkan dari tanah mereka oleh perusahaan kelapa sawit. Bagi mayoritas masyarakat adat dan komunitas lokal, industri kelapa sawit mempunyai efek negatif,” katanya untuk Eco-Business. Anderson menyatakan bahwa masyarakat adat tidak jarang salah kaprah sebab meyakini bahwa mereka sedang diberatkan tentang pembayaran sewa, sebenarnya sebenarnya itu adalah pembelian.

“Kompensasi minimal, seringkali US $ 20 sampai US $ 50 per hektar, tetapi oleh masyarakat adat dan petani anggap sebagai pembayaran sewa, tetapi sebetulnya pembelian, menghilangkan seluruh hak tanah mereka selamanya,” kata Anderson. “Pada akhir kontrak kelapa sawit, tanah tersebut dibalikkan kepada pemerintah.”

Anderson menuliskan bahwa dia selalu melihat hasil positif untuk masyarakat pribumi dari perusahaan yang mematuhi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), atau di mana perusahaan dimintai pertanggungjawaban oleh LSM dan masyarakat. Anderson hendak melihat seluruh produsen minyak sawit “mengikuti hukum dan merealisasikan standar RSPO.”

Tumbuh lebih tidak sedikit dengan lebih sedikit.
Standar RSPO berarti pertanian yang lebih efisien. Berdasarkan keterangan dari standar RSPO, produsen akan memaksimalkan hasil pada konsesi yang ada, dengan output rata-rata yang ditargetkan sebesar 5,1 metrik ton minyak per hektar. Perkebunan di Indonesia ketika ini menghasilkan rata-rata melulu 2,7 metrik ton per hektar.

Para petani kelapa sawit Indonesia akan menambah permainan mereka. Pada bulan September tahun lalu, presiden Joko Widodo menyuruh penghentian perluasan perkebunan kelapa sawit baru, dan menyerukan industri untuk menambah produktivitas, dalam upaya mengayomi hutan Indonesia.

“Indonesia ketika ini bekerja untuk menambah manajemen perkebunan kelapa sawit, sampai-sampai semuanya cocok dengan aturan hukum,” kata Bambang. “Disadari bahwa ketika ini terdapat perkebunan yang belum mengekor peraturan, yang kami atur melewati Instruksi Presiden 2018.”

Berdasarkan keterangan dari Bambang, Kementerian Pertanian mempercepat penerapan kriteria Minyak Sawit Berkelanjutan Indonesia (badan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan Indonesia, yang dikenalkan pada 2011) di perkebunan kelapa sawit. “Telah ditargetkan bahwa pada tahun 2023, 100 persen perkebunan kelapa sawit, baik petani kecil maupun besar, akan mendapatkan sertifikasi ISPO.”

Namun, masih banyak kasus konsesi yang didapatkan di lahan yang dilindungi. Auriga telah mengejar 3,4 juta hektar perkebunan kelapa sawit yang terletak di lahan hutan lindung. “Pertanyaannya adalah bagaimana mereka menerima izin mereka?” Fitra bertanya.

Bambang percaya bahwa jika dikelola dengan benar tidak perlu memakai lebih banyak lahan untuk memproduksi minyak kelapa sawit, yang akan membantu mengayomi nama baik industri di tanah air. “Kelapa sawit adalah pabrik penghasil minyak yang sangat produktif dan tepat jika dikomparasikan dengan tumbuhan lain,” katanya. “Ketika bahan bakar fosil habis, minyak sawit akan menjadi pilihan utama untuk keperluan energi terbarukan di planet ini.”