Cina mewakili pasar besar untuk batubara termal, dan sebagai pemasok regional. Khususnya berlaku untuk Indonesia, pengekspor komoditas terbesar di dunia. Berdasarkan keterangan dari Bank Indonesia, pada tahun 2017 industri pertambangan memberikan kontribusi selama 4,7% terhadap perekonomian Indonesia, jika komoditas itu dihargai dalam dolar AS.
“Dia adalah Cina, Cina, Cina, maka nomor empat bisa saja di tempatkan oleh India, dibuntuti oleh Korea, Jepang dan Taiwan,” kata sumber pasar saat ditanya mengenai permintaan batubara termal Indonesia.
China merupakan tujuan utama Indonesia untuk keseluruhan penjualan batubara termal (termasuk batubara bitumen, batubara sub bitumen dan lignit). Dari total 394 juta ton batubara termal yang diekspor pada tahun 2018, selama 31% mengarah ke Cina dan sekitar 27% ke India, menurut keterangan dari S&P Global Analytics.
“Kami tidak hanya dapat menjualnya ke China, tetapi hal tersebut juga tidak dapat dihindari karena jumlahnya,” katanya di antara produsen Indonesia. Produsen Indonesia Platts berkata dengan menuliskan selalu ada risiko ‘menempatkan semua telur dalam satu keranjang’, meninggalkan harga batubara terlalu tergantung pada kebijakan impor China.
Akhir tahun lalu, beberapa pelabuhan Tiongkok dilaporkan ditutup untuk impor melewati laut termal dan sering kali tidak ada pengakuan resmi mengenai kebijakan tersebut, yang membuat frustatrasi bagi para pelaku pasar.
Berdasarkan keterangan dari data China Customs January, total impor batubara di negara tersebut merosot 50% dari 13,52 juta mt pada November dan 57% YoY dari 15,8 juta mt, mengindikasikan dampak genggaman yang semakin ketat.
Ketika 2019 dimulai, proses bea cukai menjadi lebih lancar, namun tepat sebelum liburan Tahun Baru Imlek, beberapa sumber melaporkan penundaan lebih lama dari sebelumnya untuk kokas impor dan batubara termal asal Australia. Sementara harga batubara termal Indonesia sudah pulih dari awal tahun ini, harga batubara termal Australia sudah tertekan dampak pembelian yang hati-hati.
Meskipun batubara Indonesia belum terpengaruh, kekhawatiran mengenai pembatasan impor masih berada di pikiran para pelaku pasar, sebab Cina berjuang untuk mengawal volume impor tahunan pada level 2017. Pada tahun 2018, Cina mengimpor total 281,23 juta mt dari seluruh jenis batubara, naik 3,9% YoY, angka-angka China Customs menunjukkan. Cina mengimpor 271 juta mt batubara pada tahun 2017.
Diversifikasi
Beberapa sumber menuliskan China tidak mungkin memblokir pintu impor batubara sebab negara tersebut membutuhkan kargo laut untuk melengkapi pasar domestik. Namun demikian raksasa Asia telah membuka jalan untuk meminimalisir ketergantungan pada batubara dengan menambah impor gas alam.
Di samping itu, Cina pun telah mengimplementasikan proyek batubara-ke-gas dan sedang mengembangkan energi terbarukan, sedangkan pada ketika yang sama menambah produksi batubara dalam negeri.
Ini mungkin bukan pertanda baik untuk eksportir Indonesia dalam jangka panjang. Bagi menghadapi risiko terlampau bergantung pada Cina menilik ketidakpastian impor, beberapa sumber pasar sudah mengambil tahapan proaktif untuk mendiversifikasi portofolio mereka. Untuk beberapa produsen, penganekaragaman sudah terjadi, meskipun hal tersebut berarti memasarkan ke beberapa pasar berbeda dengan harga di bawah kurs pasar yang berlaku.
“Ini adalah bagian dari strategi pasar beberapa produsen Indonesia, untuk memasarkan dengan tingkat harga yang lebih rendah sebab mereka hendak berekspansi ke pasar dan membangun hubungan dengan pembeli,” kata seorang saudagar yang berbasis di Singapura.
“Idealnya, penganekaragaman bagus, sebab negara-negara Asia Tenggara, contohnya Vietnam, sedang dalam fase pertumbuhan,” kata seorang produsen Indonesia.
Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa permintaan batubara di Asia Tenggara akan tumbuh sebesar 5,7% sampai 2023, sebab negara-negara termasuk Filipina dan Vietnam sedang membangkitkan pembangkit listrik tenaga batubara baru saat ekonomi mereka berkembang.
Sumber pasar yang berbasis di Singapura mengatakan untuk Platts bahwa dimungkinkan untuk menyebar permintaan secara geografis sebab total volume ekspor ke distrik lain dapat meningkat secara signifikan.
“Tapi tidak sedikit yang harus dilaksanakan dalam urusan pengembangan pasar,” katanya. “Ini bakal termasuk memutuskan persyaratan kredit yang tepat, struktur pinjaman serta memungkinkan pembangkit listrik di negara-negara ini guna mendapatkan ekuitas di tambang yang memasok stasiun,” katanya.
Memotong produksi
Diversifikasi tidak akan menjadi proses langsung sebab kebutuhan batubara pembangkit listrik di India, Vietnam atau negara-negara Asia Tenggara barangkali berbeda, seorang analis yang berbasis di Singapura mencatat.
“Banyak pabrik mungkin tidak dapat memakai batubara CV yang lebih rendah. Sementara produsen batubara termal CV menengah ke atas dapat mendiversifikasi pasar mereka, CV yang lebih rendah bisa jadi akan menempel di pasar Cina, ”katanya.
Cina merupakan pasar utama untuk ekspor lignit Indonesia. Dari total 85 juta mt yang diekspor pada 2018, 80 juta mt diekspor ke China, data analitik S&P Global menunjukkan. Dari total 263,5 juta mt batubara Indonesia yang diekspor, China mengimpor 35 juta mt. Untuk produsen batubara termal Indonesia dengan lebih dari 90% kargo dalam portofolionya mengarah ke China, masih akan menjadi bisnis seperti biasa untuk saat ini.
“Kami akan mengekspor seperti biasa, sebab ada permintaan dari China,” kata seorang produsen batubara CV rendah.
Sementara itu, pemerintah Indonesia baru-baru ini memutuskan target buatan batubara 2019 sebesar 480 juta mt, dikomparasikan dengan target 485 juta mt pada 2018. Pemerintah pun mewajibkan penambang batubara memperhitungkan sekitar 26% dari buatan untuk pasar domestik.
Daripada melakukan penganekaragaman untuk meminimalkan penyampaian risiko, analis yang berbasis di Singapura ini menyarankan supaya produsen mesti memotong produksi, menghemat pasokan untuk pemakaian di masa mendatang sebab permintaan dalam negeri di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya diduga akan meningkat. “Diperlukan untuk mempunyai pola pikir jangka panjang dan memotong buatan secara signifikan untuk mengisi permintaan di masa depan, bukannya menambah produksi dan menyaksikan harga turun jika China memblokir pintunya lagi,” tambah sang analis.
Last Updated: July 19, 2019 by Anabelle
Batubara Indonesia Menghadapi Perjuangan Berat Untuk Mendiversifikasi Ekspor Yang Jauh Dari Cina
Cina mewakili pasar besar untuk batubara termal, dan sebagai pemasok regional. Khususnya berlaku untuk Indonesia, pengekspor komoditas terbesar di dunia. Berdasarkan keterangan dari Bank Indonesia, pada tahun 2017 industri pertambangan memberikan kontribusi selama 4,7% terhadap perekonomian Indonesia, jika komoditas itu dihargai dalam dolar AS.
“Dia adalah Cina, Cina, Cina, maka nomor empat bisa saja di tempatkan oleh India, dibuntuti oleh Korea, Jepang dan Taiwan,” kata sumber pasar saat ditanya mengenai permintaan batubara termal Indonesia.
China merupakan tujuan utama Indonesia untuk keseluruhan penjualan batubara termal (termasuk batubara bitumen, batubara sub bitumen dan lignit). Dari total 394 juta ton batubara termal yang diekspor pada tahun 2018, selama 31% mengarah ke Cina dan sekitar 27% ke India, menurut keterangan dari S&P Global Analytics.
“Kami tidak hanya dapat menjualnya ke China, tetapi hal tersebut juga tidak dapat dihindari karena jumlahnya,” katanya di antara produsen Indonesia. Produsen Indonesia Platts berkata dengan menuliskan selalu ada risiko ‘menempatkan semua telur dalam satu keranjang’, meninggalkan harga batubara terlalu tergantung pada kebijakan impor China.
Akhir tahun lalu, beberapa pelabuhan Tiongkok dilaporkan ditutup untuk impor melewati laut termal dan sering kali tidak ada pengakuan resmi mengenai kebijakan tersebut, yang membuat frustatrasi bagi para pelaku pasar.
Berdasarkan keterangan dari data China Customs January, total impor batubara di negara tersebut merosot 50% dari 13,52 juta mt pada November dan 57% YoY dari 15,8 juta mt, mengindikasikan dampak genggaman yang semakin ketat.
Ketika 2019 dimulai, proses bea cukai menjadi lebih lancar, namun tepat sebelum liburan Tahun Baru Imlek, beberapa sumber melaporkan penundaan lebih lama dari sebelumnya untuk kokas impor dan batubara termal asal Australia. Sementara harga batubara termal Indonesia sudah pulih dari awal tahun ini, harga batubara termal Australia sudah tertekan dampak pembelian yang hati-hati.
Meskipun batubara Indonesia belum terpengaruh, kekhawatiran mengenai pembatasan impor masih berada di pikiran para pelaku pasar, sebab Cina berjuang untuk mengawal volume impor tahunan pada level 2017. Pada tahun 2018, Cina mengimpor total 281,23 juta mt dari seluruh jenis batubara, naik 3,9% YoY, angka-angka China Customs menunjukkan. Cina mengimpor 271 juta mt batubara pada tahun 2017.
Diversifikasi
Beberapa sumber menuliskan China tidak mungkin memblokir pintu impor batubara sebab negara tersebut membutuhkan kargo laut untuk melengkapi pasar domestik. Namun demikian raksasa Asia telah membuka jalan untuk meminimalisir ketergantungan pada batubara dengan menambah impor gas alam.
Di samping itu, Cina pun telah mengimplementasikan proyek batubara-ke-gas dan sedang mengembangkan energi terbarukan, sedangkan pada ketika yang sama menambah produksi batubara dalam negeri.
Ini mungkin bukan pertanda baik untuk eksportir Indonesia dalam jangka panjang. Bagi menghadapi risiko terlampau bergantung pada Cina menilik ketidakpastian impor, beberapa sumber pasar sudah mengambil tahapan proaktif untuk mendiversifikasi portofolio mereka. Untuk beberapa produsen, penganekaragaman sudah terjadi, meskipun hal tersebut berarti memasarkan ke beberapa pasar berbeda dengan harga di bawah kurs pasar yang berlaku.
“Ini adalah bagian dari strategi pasar beberapa produsen Indonesia, untuk memasarkan dengan tingkat harga yang lebih rendah sebab mereka hendak berekspansi ke pasar dan membangun hubungan dengan pembeli,” kata seorang saudagar yang berbasis di Singapura.
“Idealnya, penganekaragaman bagus, sebab negara-negara Asia Tenggara, contohnya Vietnam, sedang dalam fase pertumbuhan,” kata seorang produsen Indonesia.
Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa permintaan batubara di Asia Tenggara akan tumbuh sebesar 5,7% sampai 2023, sebab negara-negara termasuk Filipina dan Vietnam sedang membangkitkan pembangkit listrik tenaga batubara baru saat ekonomi mereka berkembang.
Sumber pasar yang berbasis di Singapura mengatakan untuk Platts bahwa dimungkinkan untuk menyebar permintaan secara geografis sebab total volume ekspor ke distrik lain dapat meningkat secara signifikan.
“Tapi tidak sedikit yang harus dilaksanakan dalam urusan pengembangan pasar,” katanya. “Ini bakal termasuk memutuskan persyaratan kredit yang tepat, struktur pinjaman serta memungkinkan pembangkit listrik di negara-negara ini guna mendapatkan ekuitas di tambang yang memasok stasiun,” katanya.
Memotong produksi
Diversifikasi tidak akan menjadi proses langsung sebab kebutuhan batubara pembangkit listrik di India, Vietnam atau negara-negara Asia Tenggara barangkali berbeda, seorang analis yang berbasis di Singapura mencatat.
“Banyak pabrik mungkin tidak dapat memakai batubara CV yang lebih rendah. Sementara produsen batubara termal CV menengah ke atas dapat mendiversifikasi pasar mereka, CV yang lebih rendah bisa jadi akan menempel di pasar Cina, ”katanya.
Cina merupakan pasar utama untuk ekspor lignit Indonesia. Dari total 85 juta mt yang diekspor pada 2018, 80 juta mt diekspor ke China, data analitik S&P Global menunjukkan. Dari total 263,5 juta mt batubara Indonesia yang diekspor, China mengimpor 35 juta mt. Untuk produsen batubara termal Indonesia dengan lebih dari 90% kargo dalam portofolionya mengarah ke China, masih akan menjadi bisnis seperti biasa untuk saat ini.
“Kami akan mengekspor seperti biasa, sebab ada permintaan dari China,” kata seorang produsen batubara CV rendah.
Sementara itu, pemerintah Indonesia baru-baru ini memutuskan target buatan batubara 2019 sebesar 480 juta mt, dikomparasikan dengan target 485 juta mt pada 2018. Pemerintah pun mewajibkan penambang batubara memperhitungkan sekitar 26% dari buatan untuk pasar domestik.
Daripada melakukan penganekaragaman untuk meminimalkan penyampaian risiko, analis yang berbasis di Singapura ini menyarankan supaya produsen mesti memotong produksi, menghemat pasokan untuk pemakaian di masa mendatang sebab permintaan dalam negeri di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya diduga akan meningkat. “Diperlukan untuk mempunyai pola pikir jangka panjang dan memotong buatan secara signifikan untuk mengisi permintaan di masa depan, bukannya menambah produksi dan menyaksikan harga turun jika China memblokir pintunya lagi,” tambah sang analis.
Category: Peningkatan SDM
Categories
Recent Posts
Hubungi Kami